Powered By Blogger

Kamis, 25 Maret 2010

Aku dan Sahabatku


Sejenak aku terdiam, termenung, ditelan keheningan yang sunyi.

Saat itu pukul empat sore, aku sedang duduk di café tempat aku dan temanku akan bertemu. Aku menanti sahabatku yang bernama Lia sejak tadi. Sesudah menunggu selama setengah jam, sahabatku itu tak kunjung datang. Aku mempunyai firasat buruk, jangan-jangan ia mengalami kecelakaan.

Pikiranku buyar seketika saat ponselku berdering nyaring, ternyata Mamanya Lia lah yang menelfonku. Aku bingung mengapa ia menelfonku sambil menangis-nangis.

“Ada apa tante?” tanyaku bingung.

“Lia masuk rumah sakit, dia kecelakaan di depan Mall Puri Indah,” jawab Tante dengan napas terengah-engah sambil menangis.

“Hah? Rumah sakit mana tante?” tanyaku dengan nada panik.

“Siloam Hospital,” jawab Tante singkat sambil terus menangis tersedu-sedu.

“Aku akan segera ke sana Tan,” jawabku tegas.

“Baiklah,” kata Tante.

Aku segera mengakhiri pembicaraan itu dan segera masuk ke mobil untuk berangkat ke rumah sakit. Aku merasa sangat tidak tenang. Perasaanku bercampur-aduk antara panik, gelisah, sedih dan kecewa. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

Sesampainya disana, aku bertemu dengan Devy dan Tante. Aku langsung menanyakan bagaimana keadaan Lia.

“Koma,” kata Devy singkat, kakak perempuan Lia.

Aku tak sanggup menahan tangis saat kudengar sahabatku dalam kondisi separah itu. Seisi ruang tunggu itu penuh dengan tangisan dan isakan kami. Akhirnya, Devy mengajakku untuk berdoa saja.

“Kita pasrahkan saja kepada yang berwenang,” katanya singkat.

Hari sudah mulai gelap, matahari menghilang dibalik awan, satu-persatu orang-orang yang menjenguk Lia berangsur-angsur pergi. Aku memutuskan untuk menjaga Lia di rumah sakit, sehingga Tante dan Devy pulang ke rumah mereka.

Saat tengah malam, kira-kira jam setengah satu, Aku sedang tertidur pulas, aku terkejut saat sebuah tangan halus menggenggam tanganku. Ternyata itu adalah Lia. Ia telah siuman dari komanya.

“Rin, makasih ya sudah mau nemenin aku disini,” kata Lia.

“Iya, itu sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang sahabat yang baik,” kataku sambil tersenyum. Lia membalas dengan sebuah senyuman yang tak asing di mataku.

“Kamu memang sahabat terbaikku,” katanya dengan ekspresi mengharukan.

Aku sangat terharu mendengar kata-katanya.

“Kamu juga sahabat terbaikku,” balasku.

Kami lalu berpelukkan. Dalam hati aku berkata aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan dan waktu yang telah Tuhan berikan dengan sahabatku, karena aku merasa sahabat adalah bagian yang tak kalah pentingnya dalam hidupku, ia selalu ada untukku, ia memberikanku semangat, ia rela menghabiskan waktunya hanya sekedar untuk menemani aku, ia rela mendengarkan ceritaku berjam-jam lamanya dan bagian terpentingnya adalah ia selalu menyanyangi aku bagaimana pun keadaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar